Jumat, 08 April 2016

Ayah



Malam akan selalu datang di setiap harinya, begitu pula rindu yang tersimpan rapat di hatiku. Kenapa malam menjadi kerinduan, ketika siang mampu menerangkan kerinduanku? Ketika malam bersama bintang, aku mampu menggambarkan sosoknya, sosok yang terlihat tak ramah untuk aku ataupun kakakku.

“Kamu yakin akan kuliah di Solo?” tanya Ayah kepadaku.

“Apa salahnya aku kuliah di sana, ayah?” tanyaku balik.

“Solo itu jauh dari sini, apa kau siap pulang satu tahun sekali?” tanya Ayah kepadaku lagi.

“Perjuangan Ayah. Aku ingin di sana. Tak ada yang bisa melarangku,” jawabku dengan nada tinggi.

“Baiklah jika itu keinginanmu,” jawab Ayah.

Saat itu, tepat di saat itu. Aku tak sempat melihat raut wajahnya. Hatiku terlalu gembira karena keinginanku terkabul. Tanpa mengucapkan terima kasih atau tersenyum kepada Ayah, aku segera berlari ke kamar. Mempersiapkan semua kebutuhanku.
******

Sudah beberapa hari ini cuaca berubah tak menentu. Saat siang hari, terik matahari menusuk kulit, saat sore hari, hujan turun dengan derasnya. Banyak sekali teman-teman yang mengeluh karena cuaca ini. Janji untuk bertemu di sore hari dibatalkan karena cuaca. Baju yang telah kering kembali basah karena tidak ada yang mengangkatnya. Dan yang paling fatal adalah kondisi fisikku. Akibat cuaca yang tak menentu, aku terserang virus influenza. Suaraku perlahan berubah serak, mataku sayu akibat merasa lelah, batuk yang tiada hentinya, serta tubuhku yang lemas membuatku malas berangkat dari tempat tidur.

Handphoneku bergetar dengan sangat hebatnya, terpampang di layarnya bahwa Ayah meneleponku. Namun akibat pusing yang tak terkendali, untuk meraih handphonepun aku malas sekali. Sehingga aku membiarkan begitu saja handphoneku bergetar. Membiarkan saja sosok tak ramah itu merasakan khawatir teramat hebat. Yang baru aku ketahui setelah aku sembuh dari perbincanganku dengan ibu melalui telepon.

******
Seminggu berlalu setelah aku sakit. Aku hanya sempat mengirimkan satu pesan ke ibuku yang menyatakan aku sakit. Musimpun memasuki musim panas. Udara yang begitu panas membuat tidur siangku tidak nyenyak. Malam haripun terkadang terasa panas. Saat pergi ke kuliah, panas langsung menerobos ke tubuhku. Perjalanan lima menit ke kampuspun terasa lima belas menit.

Karena cuaca yang tidak bersahabat, aku berusaha datang di pagi hari dan pulang di sore hari. Hanya untuk menghindari panas yang tak terduga di siang hari.

“Sin, ayahmu memanggil.” Temanku Laila memberikan handphoneku kepadaku.

Aku segera mengambil handphoneku, lalu berjalan keluar kelas dan mengangkat telepon dari Ayah. Mungkin hanya tiga menit aku berbicara dengannya di telepon. Setelah itu aku kembali ke kelas. Meneruskan tugasku.
*****
Malam akan selalu datang di setiap harinya, begitu pula rindu yang tersimpan rapat di hatiku. Kenapa malam menjadi kerinduan, ketika siang mampu menerangkan kerinduanku? Ketika malam bersama bintang, aku mampu menggambarkan sosoknya, sosok yang terlihat tak ramah untuk aku ataupun kakakku.
Aku sampai saat itu belum menyadari kasih sayang sosok itu. Aku belum terlalu memikirkan maksud dari pesan-pesan dan telepon yang beliau lakukan walaupun hanya seminggu sekali. Dalam pikiranku, sudah kewajiban orang tua untuk menanyakan kabar anaknya, apalagi anaknya merantau seperti aku.
Malam itu kembali sunyi. Aku kembali terdiam, memandangi foto-foto yang berada di layar laptopku. Wajah yang benar-benar menjelaskan sebuah perjuangan, wajah yang menunjukkan pengorbanan, wajah yang luar biasa sabar dan tabah menghadapi cobaan di dunia.

*****
Satu bulan berlalu sejak aku terakhir kali jatuh sakit. Entah karena kondisi fisikku yang lemah, atau merasakan kerinduan akan halaman kampung. Tubuhku tak kuasa menolak sakit yang menghampiri. Kali ini aku terserang penyakit gejala tifus dan tensi darah rendah. Akupun mendapatkan izin untuk tidak mengikuti perkuliahan selama beberapa hari.

Selama beberapa hari aku sakit, ibu selalu mengirimkan pesan singkat kepadaku. Menanyakan apakah aku sudah makan atau minum obat, bagaimana kondisiku, apakah aku sudah membaik. Setiap hari, tanpa lupa mengingatkanku untuk makan dan minum obat. Menasehatiku agar lebih memperhatikan kesehatanku.

Dalam sakitku aku berpikir, ke mana Ayah. Apakah dia tidak mengkhawatirkanku? Di mana letak kepedulian dia terhadap anaknya. Apakah aku tidak berarti apa-apa untuknya. Apakah hanya Ibu yang menjadi orang tuaku.

“Ayah selalu mengkhawatirkanmu, putri kecilnya. Tak ada ayah yang tak perduli kepada putri kecilnya. Bagi seorang ayah, anak perempuan tetap akan menjadi putri kecilnya, sekalipun engkau telah menjadi dewasa. Bagi seorang ayah, engkau tetap menjadi sosok yang butuh perlindungan.”

Itu adalah kata-kata dalam mimpiku, aku terbangun di tengah malam. Kaget. Gelisah. Merasa bersalah akan keangkuhanku. Merasa bodoh akan keegoisanku. Merasa benci akan kemarahanku. Tidak mungkin seorang ayah tidak mengkhawatirkan anak putronya, apalagi yang jauh dari pandangan matanya.

Esok harinya, aku menanyakan kepada Ibu. Apakah Ayah mengkhawatirkanku. Apakah Ayah menanyakan kabarku.

Beberapa malam ini ayahmu kurang tidur, memikirkan kesehatanmu. Jangan lupa istirahat dan makan yang teratur.

Kebodohan apa yang ada di otakku. Mengapa dengan angkuhnya aku mempertanyakan kasih sayang Ayahku kepadaku. Apakah aku ingin menjadi anak durhaka yang memaki orang tuanya. Apakah aku ingin seperti Malin Kundang yang mengabaikan ibunya.

*****
Malam hari sebelum keberangkatanku ke Solo. Dan aku baru bisa mengingatnya di kesunyian malam ini.

“Kamu yakin akan kuliah di Solo?” tanya Ayah kepadaku.

“Apa salahnya aku kuliah di sana, ayah?” tanyaku balik.

“Solo itu jauh dari sini, dan apa kau siap pulang satu tahun sekali?” tanya Ayah kepadaku lagi.

“Perjuangan Ayah. Aku ingin di sana. Tak ada yang bisa melarangku,” jawabku dengan nada tinggi.

“Baiklah jika itu keinginanmu,” jawab Ayah.

Setelah itu, sedikitpun aku tak menggubris ekspresi Ayahku. Tetapi bumi menyaksikannya. Nampak jelas mendung menggelayuti wajah Ayah. Kekhawatiran luar biasa benar-benar jelas di binar matanya. Aku baru bisa mengingat itu saat kesunyian malam menghampiri. Sorotan matanya yang terekam di memori otakku. Rekaman yang baru bisa ku putar saat aku menyadari semua itu.

Ayah, beliaulah yang paling mengkhawatirkan kondisiku. Beliaulah yang memiliki rasa takut di puncak tertinggi. Andai aku menyadari malam itu, Ayah menahan tangisnya melepas kepergianku, merelakan keputusanku untuk merantau, mengikhlaskan keinginanku untuk jauh dari rumah.

Tapi keputusan adalah sebuah keputusan. Tidak mungkin aku mundur dari keputusanku sendiri. Tidak mungkin aku akan menjilat ludahku sendiri. Itu adalah sesuatu yang mustahil. Tetapi kenapa kini ada penyesalan di benakku. Aku ingin segera pulang, menemui ayah dan memeluk ayahku dengan erat.

******
Masih tergambar jelas di ingatanku, ketika aku berumur sembilan tahun. Saat siang hari, ketika Ayah tidak bekerja dan hendak mengantarkanku ke sekolah soreku. Dengan mengendarai vespa hijaunya, aku duduk di jok belakang, merasakan angin yang berhembus ke arahku.

Brak..

Aku telah jatuh ke arah kanan jalan, aku terduduk dan beruntungnya, aku tidak memiliki luka apapun. Dengan emosi yang tinggi, Ayah menghampiri sopir mobil yang berhenti karena sadar telah membuat kami terjatuh.

“Kalau mau menyebrang itu, lampu sennya dihidupkan, pak. Kalau anak saya luka, bagaimana?” Ayah mengatakn itu dengan api kemarahan di matanya.

“Maaf, pak. Kami tidak sengaja,” jawab bapak sopir itu.

“Catat nomor polisinya, dek,” perintah Ayah kepadaku.

“Iya, Yah,” aku segera membuka tas dan mencatat nomor polisi mobil itu.

“Jika terjadi apa-apa dengan anak saya. Anda bersiap-siap saja.”

“Iya, pak. Sekali lagi maafkan saya.”

Waktu yang singkat, benar-benar singkat. Tetapi aku belum menyadarinya, itulah bentuk kasih sayang Ayah. Seseorang yang tidak membiarkanku menderita atau mengalami sakit. Ayahlah yang pertama kali marah saat ada orang yang menyakitiku, baik itu disengaja ataupun tidak disengaja.

Aku benar-benar bodoh. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Bagaimana aku tidak merasakannya. Sekecil apapun luka yang aku dapatkan dari orang lain, itu akan membuat Ayah marah. Apakah karena kekesalanku terhadap Ayah terlalu tinggi? Mengapa aku bisa bodoh seperti ini.
******
“Dasar brengsek,” itulah yang Ibu katakan kepadaku saat Ayah melihat aku menangis karena seorang laki-laki.

Ayah dengan segala kesabarannya, menahan diri untuk tidak memberikan pukulan telak kepada laki-laki itu. Ayahku adalah Ayah terkuat di dunia, Ayah menguasai bela diri karate. Aku ingin sekali mempelajari seni bela diri tersebut. Aku ingin menjadi kuat seperti Ayah.

Ayahku bukan Ayah terkaya hartanya di dunia, namun Ayahku adalah Ayah terkaya kasih sayangnya kepada anaknya. Ayahku bukan Ayah terhebat di dunia, tetapi bagiku Ayah adalah pria terbaik di hidupku. Ayah mengajrkanku untuk tidak mengeluh. Ayah mengajarkanku untuk waspada. Ayah mengajarkanku untuk pintar dalam memilih. Ayah mengajarkanku untuk tidak mudah tertipu. Ayah mengajarkanku itu semua.

Aku baru menyadarinya malam itu, ketika satu bintang bersinar cerah. Ayah telah banyak mengajarkanku sejak aku kecil. Menjelaskan berbagai cerita kepadaku. Berbagi pikiran kepadaku. Bertanya apapun yang dia ingin tanyakan kepadaku. Dan aku baru menyadarinya. Pertanyaan itu bukan pertanyaan iseng, tetapi itu adalah pertanyaan yang memberikan jawaban kepadaku menghadapi kehidupan. Setiap Ayah di dunia ini berbeda. Mereka mengajarkan kita dengan cara dan maknanya tersendiri, dan tanpa kita sadari, sebagai anak perempuan Ayah, kita telah menanamkannya di dalam hati kita yang terdalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar