Kamis, 07 April 2016

Lelehan Eskrim

Sambungan dari : Semanis Eskrim
======================================================


Milk shake cokelat adalah peneman setiamu di waktu istirahat. Rambut sebahu. Mata sipit. Wanita unik yang selalu menikmati waktu sendirinya. Aku hendak menyapamu, tetapi ragu selalu menyelip. Takut terabaikan. Takut dianggap aneh.
Oke. Aku hanya takut jika momen yang ingin aku ciptakan menjadi hancur karena diriku sendiri. Aku hanya takut. Itu saja.

******

1 Oktober 2014.
Aku berjalan memasuki ruangan kelas. Memilih duduk menyender pada dinding. Mencari posisi strategis agar aku bisa melihatmu lebih jelas.
Dan yang terjadi adalah mata kita saling bertumbukan. Spontan mulutku membentuk senyuman. Senyuman yang aku tujukan padamu. Dan kau membalasnya.
Ragu yang sempat menyelip dengan sangat angkuh itu menghilang. Kalimat pertamaku untukmu meluncur begitu saja. Begitu angkuh.
“Kita belum pernah berbicara kan, Chisa?”
Oh oke. Pertanyaan pertama yang konyol. Kamu cukup kaget dan linglung. Aku melihat betapa kamu berusaha mengontrolnya. Kamu berusaha. Aku menyukai hal itu.
Kau bertanya balik kepadaku,“Heh, apa?”
Aku meresponmu dengan tawa,“Hahahaha.”
Dan aku mengulang kalimatku kepadamu,”Aku bilang kalau kita belum pernah berbicara sebelumnya bukan, Chisa?”
“Ah maaf, aku sedang tidak fokus. Iya, selama ini kita belum pernah berbicara.”
Kalimatmu benar-benar mematikan percakapan. Namun aku tak mau percakapan kita yang sudah terjadi ini terhenti. Jika kau mematikan percakapan kita, aku akan membuat percakapan ini hidup.
“Kamu terlihat pendiam Chisa jika berhadapan dengan anak laki-laki.”
Ah bodoh sekali. Pernyataan yang men-judge­ seharusnya tak masuk ke dalam area percapakan ini.
”Apa iya? Bukannya kalian yang enggan berbicara denganku?”
Aku cukup kaget dengan jawabannya. Kaget ini cukup membingungkan.
Dan kali ini aku yang harus berusaha. Aku berusaha tersenyum kepadamu. Cara terbaik menghilangkan kebingungan yang bisa kamu ciptakan.
Aku berpikir sejenak, lalu pertanyaan baru terlontar,”Benarkah? Atau mungkin perasaanmu saja Chisa?”
“Oh, mungkin.”
Respon ‘mungkin’ dari dirimu membuat percakapan ini kembali mati. Mulutku berhenti bekerja, tetapi tidak perasaan dan otakku. Perasaanku merespon mataku untuk memperhatikan setiap gerikmu. Caramu menyesap minuman, membersihkan bibir mungilmu dengan tisu, dan meletakkan cangkir minuman. Begitu menyenangkan.
Lima menit berlalu, aku tak sanggup menahan suaraku untuk keluar,”Kau suka cokelat bukan?”
Ekspresi kagetmu selalu bisa membuatku ingin tertawa, namun aku menahannya. Kamu terlihat gugup dan panik, namun sebisa mungkin kamu terus berusaha untuk mengontrolnya. Ingin sekali tangan ini memberikan cubitan kecil di pipimu yang menggemaskan, namun aku harus menahannya. Sekali lagi, aku harus menahannya.
“Iya. Darimana kau tahu?” kamu membalas pertanyaanku dengan pertanyaan balik.
Aku harus menjawab jujur dan ku harap kamu bisa mengerti maksudku,”Karena setiap ada waktu istirahat, kamu akan pergi ke kantin dan membeli cokelat. Ah kesannya aku seperti memata-mataimu ya?”
“Sepertinya,” jawaban yang menunjukkan bahwa kamu terkejut.
“Tidak, aku sering memperhatikanmu,” jawabku apa adanya tanpa karangan. Aku hanya ingin kamu tahu, sesegera mungkin dan secepat mungkin.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar