Kamis, 07 April 2016

Keputusan Akhir

Setelah oke sekian lama ga nulis, nih coba iseng nulis sejauh yang ada dalm pikiran. Cukup neggantung. Banyak kesalahan di sana-sini, yakin dah.

****

"Aku harus putus dengannya. Sekuat apapun aku mencoba bertahan, jika memang hal ini harus diakhiri, aku harus segera mengakhirinya."
"....."
"Cinta, selalu kata-kata itu yang membuatku bertahan. Membuatku egois tak memikirkan perasaan orang tuaku. Membuatku egois untuk tak memikirkan perasaan dia."
"Kenapa tiba-tiba?"
"Aku tidak bisa menjadi seperti wanita yang diinginkan Dika."
"Lalu?"
"Mana mungkin aku harus menyiksanya setiap saat. Kamu tahu aku. Dengan gayaku yang bebas berteman bahkan akrab dengan siapa saja membuatnya tersiksa. Aku lelah harus terus-terusan berbohong. Dia sangat baik, mencintaiku berlebih, tapi itulah kesalahannya, dia terlalu posesif, terlalu takut, ketakutannya menyiksaku. Aku tidak bisa bebas melakukan hobiku ataupun aktifitasku. Aku harus merahasiakan namaku di media social, menjadi seorang anonymous di dunia media social."
Sinta menghela napas.
"Dan itu masih ada kelanjutannya bukan?"
"Iya. Sabar, capek ngomong mulu."
"Kebiasaanmu."
"Oke lanjut. Kamu tahukan pertengkaran kecil kami selalu berujung kata putus darinya."
"Iya sih, Sin."
"Dan aku sudah lelah dengan semua itu. Jika dia memang serius mencintaiku, menginginkanku, harusnya kata-kata itu tak pernah terucap. Itu kata-kata egois."
"Atau itu kata terbaik?"
"Yah terkadang itu menjadi kata terbaik agar seseorang sadar. Tapi kesadaran itu hanya cukup sampai disitu. Besoknya akan terulang lagi."
"Tiap orang berbeda."
"Ah kalau masalah begitu susah beda, hampir sama. Berubahnya sebentar atau sedikit."
"Sepertinya pengalaman.
"Aku tentunya sangat berpenglaman, You know it.."
Aku memperhatikan garis wajah Sinta. Wajah yang mulai lelah, bosan, dan muram."
"Bukankah katamu kalau semua sikap posesif dia itu demi kebaikanmu, Sin?"
"Yah iya sih. Tapi nggak semuanya juga harus dilarang."
"Jadi, keputusanmu sudah bulat?"
"Ngga sekarang sih, nanti, kalau dia udah ngomong putus lagi."
"Kapan tuh?"
"Sebentar lagi."
"Kok yakin?"
"Karena aku ngga punya pulsa, males isi pulsa, dan ngga ngehubungin dia seharian, dan pasti akan berakhir dengan kata putus darinya."
"Kamu sengaja?"
"Awalnya ngga sengaja, sekarang sengaja."
"Kalo emang dia beneran ngomong putus?"
"Gue tanya dulu dia yakin apa enggak."
"Kok gitu?"
"Jika dia memang mencintaiku, tiada keraguan dalam dirinya. Kalaupun ada keraguan, dia harus menjelaskannya."

*****

Lima hari kemudian.
Drrtt... Drrrttt..
Handphone mungilku bergetar. Sebuah nama yang sangat ku kenal terpampang di layar. Aku mengangkatnya.
Hal pertama yang aku dengar adalah suara tangisan.
"Kenapa Sin?"
"Dika. Dika ngomong putus. Dan saat aku tanya dia yakin apa enggak, di.. dia.. dia jawab ragu."
"Lalu?"
"Aku setiap hari mempertanyakan itu. Dan dia selalu menjawab ragu."
"Dan?"
"Akhirnya aku mengajaknya berteman."
"Sekarang kenapa menangis?"
"Karena... Karena aku terlalu mencintainya."
"Kamu yakin sama keputusan ini? Yah beberapa hari lagi pasti balikan."
"Tapi aku lelah."
"Sinta,, kemarin jauh-jauh hari kita sudah membicarakannya. Kamu sudah sangat yakin saat itu, Dan sekarang kenapa lagi ragu? Karena kata cinta kah?"
"...."
"Ingat saja orang tuamu."
"..."
"Orang tua lebih penting daripada pacar."
"..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar