Kamis, 07 April 2016

Teman


“Lebih baik suka sebagai teman,
daripada berharap, lalu ditinggalkan”

Ku buka tirai jendela yang menghalangi cahaya memasuki ruangan berukuran 4x4 ini. Ku matikan kipas angin yang masih berhembus sejak jam tujuh malam hingga jam lima pagi ini, maunya sih hemat listrik, tetapi tujuannya agar biaya kost tidak membengkak setiap bulannya karena penggunaan listrik. Setelah paru-paruku sukses menghirup oksigen dengan baik, aku kembali menuju ke atas kasur, memilih posisi yang enak untuk tidur lagi.
Tok.. Tok.. Tok..
Aku mendengar suara ketukan pintu, namun rasanya seperti aku bermimpi, maka tak sedikitpun aku menghiraukannya.
Tok.. Tok.. Tok..
Suara ketukan itu terdengar lagi, lebih keras dari suara sebelumnya. Suara itu menyiksa telingaku, namun aku masih menikmati kehangatan selimutku dan kenyamanan kasur yang berpadu dengan bantal dan gulingku.
“WOY, RISAAAA!? BANGUN!?”
Aku kaget, jantungku langsung meloncat dengan cepat, mataku terbuka lebar, namun kepalaku terasa berat. Itu suara siapa, kok kenceng banget kayak suara gledek[1] aja.
“Gue udah bangun dari tadi. Siapa toh?” jawabku masih tetap di balik kehangatan selimut.
“Ini Desti, Risa. Bukain pintu lu, gue mau masuk,” jawabnya lebih pelan.
“Oh, Desti. Gue kira emak-emak jualan sayur, Des,” jawabku sekenanya.
“Terserah apa kata lu dah, Ris. Tapi bukain ini pintu, susah amat ngebukanya. Apa mesti gue bobol pintu lu?”
“Coba aja, gue ngga tanggung jawab.”
Tak ada jawaban lagi. Akhirnya aku membuka pintu kamarku yang masih terkunci rapat. Dan saat aku berhasil menatap cahaya menyilaukan memasuki kamarku. Aku melihat wajah seorang perempuan yang kacaunya sama dengan rumah yang dihantam badai Katrina.
“Eh, lu kenapa Des?” tanyaku tanpa ba-bi-bu lagi.
Ku tarik tangannya memasuki kamarku, mengarahkannya ke atas kasurku. Secara refleks aku mengelus punggungnya. Dan tangisnya pun pecah. Aku sepertinya paham kenapa dia menangis. Hanya ada satu makhluk di dunia selain ibunya yang mampu membuat perempuan di depanku ini menangis, yaitu laki-laki.
“Lu kenapa sih Des? Tiba-tiba dateng dalam keadaan gini, habis diamukin angin topan apa?”
“Hiks... Iya, Ris. Gue...gue habis,, hiks,, diputusin, hiks.. sama si Angin Topan,” jelasnya dengan suara sesenggukan yang mengganggu otakku menerjemahkannya.
“Angin Topan? Lu pacaran sama angin?” otakku masih sulit memahami maksud Desti. Bingung bagaimana Desti bisa berpacaran dengan cuaca.
“Bukan Ris, hiks, namanya Angin Topan, hiks.”
Aku hanya tercengang mendengar namanya, ternyata masih ada manusia yang bernama seperti itu, orang tuanya pasti kreatif dan unik.
“Emang kalian kapan jadiannya, Des?”
“Eh?”
“Kok eh?” seperti namanya, mungkin laki-laki itu bisa memporak porandakan hati wanita seperti angin topan. Aku sepertinya tak berniat untuk pacaran jika pacaran itu membuat kehidupan menjadi seperti ini.
Ah mungkin aku akan berhenti berharap kepada dia yang selama ini selalu menemaniku sms-an, BBM-an, bahkan telponan.




[1] halilintar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar