Kamis, 07 April 2016

Harapan dalam Tahun


Ayam berkokok dengan riang, sayup-sayup suara lantunan adzan Shubuh berkumandang. Pertanda hari yang baru datang. Namun yang selalu aku tunggu bukanlah Mentari yang terbit di ufuk Timur. Namun aku menunggu Mentari di ufuk Barat yang menciptakan senja dengan warna keemasannya, yang menghias langit dengan cahaya temaramnya.

Bukankah kau pernah bilang bahwa aku secantik senja di kota tua ini. Namun hatiku sedingin udara malam di kota tua ini.

Delapan tahun yang lalu.
"Senyummu mampu meluruhkan dinding hatiku yang sekeras batu," ucapnya di senja yang temaram dengan diiringi demuran ombak yang syahdu. Aku hanya tersenyum simpul, tidak terlalu mempedulikan ucapannya.
"Kamu selalu terlihat bahagia ketika senja," dia kembali mengajakku bicara, namun aku hanya meresponnya dengan anggukan kecil.

Kau selalu menemaniku ketika senja mulai tiba, lalu meninggalkanku sendiri saat malam telah menghampiri.
Mungkin akan ku ceritakan tentang dia.

Tahun pertama...
Kau masih bertahan menemaniku.

Tahun kedua ...
Kau tetap bertahan dan seringkali menemaniku hingga aku bosan.

Tahun ketiga...
Aku mulai berani untuk sedikit berbicara. Kau selalu tersenyum lebar setiap aku membalas perkataanmu dengan mulutku, bukan lagi dengan isyarat yang sering aku tunjukkan.

Tahun keempat...
Kau masih bertahan menemaniku, namun itu hanya satu kali dalam dua hari. Kau sukses membuatku gelisah.

Tahun kelima...
Frekuensi perjumpaan kita menurun menjadi dua kali dalam satu minggu, padahal saat itu aku sudah berani berbicara banyak denganmu.

Tahun keenam...
Kau kini jarang menemuiku, mungkin hanya satu kali dalam satu bulan. Aku menghitungnya tanpa kusadari.

Tahun ketujuh...
Aku meratapi senja, menantimu yang kini jarang memunculkan wajah jenakamu. Wajah yang tetap menyenangkan, meskipun usia telah mulai mengubahmu.

Tahun kedelapan...
Kau menghilang. Benar-benar tak ada wujudmu di hadapanku lagi. Kerap aku menoleh ke samping, merasakan kau duduk di sampingku. Terkadang suara angin ku kira dirimu. Tawa nelayan ku kira tawamu. Namun itu semua ilusi yang diciptakan anganku.

Tahun kesembilan.
Aku masih menikmati senja ini. Dan karena senja ini aku menyadari bahwa aku merindukanmu. Namun aku tak pernah memiliki kesempatan untuk mengatakannya kepadamu.

Sepuluh tahun berlalu. Aku tetap setia menyaksikan senja tiba, namun pergi ketika malam telah menghampiri.

Ayam berkokok dengan riang, sayup-sayup suara lantunan adzan Shubuh berkumandang. Pertanda hari yang baru datang. Hari ini tahun kesebelas dari pertemuan pertamaku dengannya.
Mentari mulai merangkak naik, menyaksikan kesibukan-kesibukan nelayan yang mempersiapkan jala dan perahunya untuk pergi ke laut di waktu senja. Namun hari itu berbeda, para nelayan memang bersiap, tetapi bersiap untuk mengadakan sebuah pesta. Perempuan-perempuan di perkampunganku pun sibuk mempersiapkan makanan untuk pesta. Aku kebingungan.
"Ibu, sebenarnya hari ini ada apa?" tanyaku kepada perempuan separuh baya yang wajahnya hampir mirip denganku.
"Anak kepala desa hari ini pulang dari perjalanannya. Dia sukses menjadi sarjana dan sudah satu tahun ini bekerja di kota," ucap ibuku dengan bahagia.
"Anak kepala desa? Yang mana, bu?" seingatku bapak kepala desa memiliki empat anak.
"Si Fajri, anak sulungnya," jawab Ibuku.
Aku termenung cukup lama. Entah kenapa, rasanya tak asing. Aku memang tinggal di perkampungan ini, namun aku tak banyak mengenal warga di sini. Aku pendiam dan pemalu. Aku banyak mengetahui nama warga di sini karena ibuku. Ibuku yang ramahnya luar biasa.

Mentari mulai merangkak turun, semua kebutuhan untuk pesta penyambutan telah siap. Dan sebuah mobil sedan melewati jalanan di kampungku dan berhenti di depan rumah kepala desa.

Seorang pria turun dari mobil itu. Dan detik itu pula aku tertegun. Aku sangat mengenal pria itu meskipun dalam pakaian dan gaya yang berbeda. Pria yang selalu menemaniku menikmati senja. Tanpa kusadari kakiku melangkah maju, menyeruak dalam kerumunan warga, berjalan menuju pria itu, pria yang baru aku ketahui namanya sekarang, Fajri. Namun langkah demi langkahku melambat, ketika aku menyaksikan dia membuka pintu belakang mobil. Dan langkahku terhenti. Seperti ada petir menyambarku. Seorang wanita yang memancarkan kelembutan keluar dari mobilnya.

Aku berharap bertemu dengannya, namun ternyata aku harus menerima takdir. Mungkin Fajri telah 'lelah' menunggu. Menungguku untuk memberikan tanda tentang apa yang aku rasakan.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar