Kamis, 07 April 2016

Dion



Namanya Dion. Orangnya sama sekali enggak ganteng, manis juga enggak, tapi ada sesuatu dari dia yang bikin gue penasaran banget. Gue kenal dia sejak gue duduk di bangku SMA kelas satu. Kita satu kelas, kita satu meja walaupun beda bangku, kita sering satu kelompok, tapi selama satu tahun gue deket sama dia, gue belum pernah ngobrol sama dia. Alasannya apa? Karena gue pendiam dan dia cuek. Gue bisa dengar suaranya kalau kita lagi berdiskusi, jadi itu ngga masuk dikata yang namanya obrolan. Terkadang gue merasa dia mau mulai percakapan dengan gue, tapi guenya ngga nunjukin tanda-tanda mau ngobrol sama dia. Kalau di jam pelajaran, gue sibuk nulis sambil coret buku gue di sana sini, kalau lagi jam kosong, gue pakai headset atau earphone di kuping gue sambil muterin musik yang volumenya sampai di kelas sebelah aja kedengeran dan itu ketahuan banget bohongnya, kalau jam istirahat, gue selalu keluar kelas duluan dan nangkring teramat manis di masjid, kalau jam olahraga, gue sama sekali menjauhi makhluk yang namanya cowo.

Dan sekarang gue baru sadar setelah satu tahun duduk bersebelahan sama dia, bukan Cuma gue yang penasaran, tapi dia lebih penasaran lagi sama gue. Oh iya, gue belum memperkenalkan diri gue. Nama gue Anita Aprilia, dari nama gue, jelas banget kalau gue lahir di bulan April. April di tingkat pertama gue, dan gue mau ceritain ke kalian. Entah siapa yang ngeletakin bunga mawae, sekotak coklat, dan bros cantik di laci meja gue. Gue dengan polosnya Tanya sama anak-anak, “Ini punya siapa woy? Kok ada di laci gue.” Dan cewe bernama Nindi langsung ngetawain gue, dengan wajah polos gue Tanya kenapa, dan gue baru sadar setelah gue Tanya kenapa, ternyata di bingkisan itu tertulis UNTUK ANITA APRILIA. Dan gue langsung diam terduduk di kursi gue. Gue jadi males bahas masalah bingkisan itu, walau sebenernya sampai tahun kedua gue penasaran siapa yang kasih bingkisan itu ke gue. Di kelas kagak ada yang ngaku. Tanya sama anak kelas lain mana mungkin.

Setahun berlalu, gue ambil jurusan bahasa, dan lagi-lagi gue sekelas dan satu meja tapi enggak sebangku sama Dion. Kembali lagi di bulan April tingkat dua, gue nggak dapet bingkisan kado di laci meja gue. Tapi waktu di jalan gue pulang ke rumah, untuk pertama kalinya gue ngobrol sama Dion. Di situ Dion kasih bingkisan yang sama dan enggak ada kata ‘Untuk April’ lagi. Dan kalau kalian mau tahu, disitu gue akhirnya jadian sama Dion. Dan yang lebih konyol lagi, ternyata rumah Dion tepat di belakang rumah gue. Sumpah, gue ngenes banget sama diri gue. Kenapa gue bias ngga tahu tentang hal itu.

Lanjut ke hubungan gue sama Dion, kadang-kadang gue suka berselisih pendapat sama dia, tapi karena kita berdua itu sama-sama cuek, semuanya berlalu begitu saja. Dan beruntungnya gue, nggak ada yang tahu antara hubungan gue sama Dion karena kita semeja dan bertetanggaan, jadi mereka menganggapnya bisaa saja. Dan gue bersyukur banget, tapi gue sempet cemburu begitupun sebaliknya Dion. Karena apa, tepat di hari yang sama dan di waktu yang sama, ada orang yang mengaku suka ke kita, tapi secara halus gue nolak itu kakak, dan dengan gaya cueknya, si Dion bilang, “Maaf, gue ngga suka sama lo.” Ya ampun, sebegitunya dingin si Dion sama itu cewe.

Dan ini adalah tahun ke tiga gue mengenal Dion, sangat disayangkan, Dion harus pindah ke Singapura dengan alasan orang tua yang pindah kerja. Satu dua bulan, gue masih komunikasi sama dia. Bulan ke tiga, gue udah mulai jarang, gue cuma berpikir positif aja. Bulan ke lima, tiba-tiba dia kirim e-mail menyatakan bahwa dia mutusin gue. Jujur, gue cuma bisa diam membeku ngebaca itu e-mail dan akhirnya gue bales e-mail dia :

To : diondion@damail.com 
From : aprilapril@damail.com 
Subject:___________ 
Dion, lu cuma bercanda kan?

From : diondion@damail.com 
To : aprilapril@damail.com 
Subject:___________ 
Enggak.

Dan setelah itu gue enggak pernah lagi dapet kabar dari Dion.
Di bulan April kelulusan SMA gue. Gue udah melupakan kejadian putusnya gue sama Dion yang ngga tahu kenapa. Gue menikmati musim semi di kota gue sambil ngobrol sama Geni, temen semeja gue di tahun ke tiga, bukan Dion lagi. Geni secara enggak sengaja ngomong masalah Dion ke gue.

“Gue kangen, Dion. Dia udah sembuh atau belum ya.”

“Apa? Lu ngomong apaan gen? Dion? Sembuh? Maksudnya.”

“Dion sepupu gue, Pril. Bukan Dion elu.”

Tapi di saat itu gue menangkap sebuah kebohongan dari mata dan nada suara Geni. Entah emang gue yang peka atau gue yang sensitive sama namanya Dion. Tapi Geni itu murid baru di tingkat tiga dan langsung akrab sama gue.

Satu tahun berlalu sejak bulan april di tahun ketiga. Gue sekarang berada di sebuah kota atau lebih tepatnya Negara kecil berbentuk pulau bernama Singapura. Sekarang gue kuliah jurusan kedokteran di sana. Andai kalian masih mengikuti kisah gue. Kalian pasti mengenal Dion. Sekarang gue balikan lagi sama Dion. Mungkin bagi yang patah hati karena cinta, ngatain gue bodoh karena mau balikan sama Dion.

Andai kalian tahu, Dion yang gue kenal bukan lagi Dion yang dulu. Dion di depan gue berubah 180 derajat. Dion yang gue kenal sekarang udah ngga bisa gue sentuh lagi, Dion yang sekarang udah ngga bisa gue lihat lagi. Satu bulan yang lalu, Dion udah ninggalin gue untuk selamanya. Dion mengidap leukemia stadium 4. Dia mutudin gue dulu karena ngga mau gue tersakiti. Dia nggak mau lihat wajah gue yang sedih. Di hari terakhir Dion, gue harus pura-pura tetap tersenyum sampai dia menutupkan matanya untuk selamanya. Di hari terkahir Dion, dia masih sempet bilang ke gue, “April adalah bulan terindah yang pernah gue rasain seumur hidup gue. Dan April adalah cahaya terindah dalam hidup gue. Tapi gue enggak mau meninggal di bulan April, karena gue enggak mau merusak moment April.” Sakit banget nahan tangis dan harus tetap tersenyum di depan Dion. Gue enggak sanggup, gue enggak tahan lagi. Tapi demi Dion, gue tetep berdiri di samping dia.

Dan di bulan April, setiap bulan April, gue selalu dapat bingkisan hadiah dari Dion. Andai kalian tahu seberapa besarnya cinta Dion ke gue.

April di tahun ke lima, gue dapat hadiah diary milik Dion.

April di tahun ke enam, gue dapat gitar kesayangan Dion.

April di tahun ke tujuh, gue dapat satu kotak novel kesukaan Dion.

April di tahun ke delapan, gue enggak tahu apa yang bakaln gue dapetin, karena ini masih bulan Maret, dan gue sekarang terbaring lemas di atas tempat tidur rumah sakit yang dulu Dion tempati, sekarang gue mengidap kanker otak stadium 4. Kalau gue masih sempet nulis kisah gue, gue bakalan ceritain apa hadiah dari Dion di tahun ke delapan dari April milik kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar