Kamis, 07 April 2016

Aku Hanya Penasaran


Aku Islam. Agama mayoritas di negeriku. Katanya Negeri Merah Putih. Katanya Negara kepulauan. Terbentuk berdasarkan perbedaan. Tetapi yang aku lihat sekarang, perbedaan hanya menjadi lelucon.
****

Aku duduk riang di sampingnya. Mengumbarkan senyumku yang paling manis. Dia membalas senyumku. Lalu kita sama-sama diam. Namun setelah sepuluh menit berselang, aku tak tahan. Maka aku lontarkan pertanyaan itu.

“Setahuku, kau masuk di organisasi islam ‘kan?” tanyaku sembari menunduk, memainkan ujung jilbabku yang kusut.

“Ya. Kenapa?” dia menjawab dengan singkat. Aku merasa salah memberikan pertanyaan itu. Namun aku tak berhasil menahan rasa penasaranku, “Aku dengar, kalian memiliki masjid tersendiri?”

Ah, aku bertanya hal bodoh lagi.

“Masjid milik umat bersama,” jawabnya tegas. Namun itu membuat ranah penasaranku memuncak, hingga meluncurlah pertanyaan yang aku tahu bahwa itu gila, “Aku dengar jika di masjid kalian, orang-orang yang tidak tergabung di organisasi kalian, ummmm,” aku berhenti, tubuhku menegang, entah berapa liter ludah telah aku telan. Namun akhirnya dia memaksaku untuk melanjutkan pembicaraanku, ”Lanjutkan apa yang ingin kamu tanya. Jangan menggantungkan pertanyaan yang membuatmu tak tenang.”

Ku tarik napasku perlahan, lalu menghembuskannya. Aku rasa salah bertanya tentang hal ini, namun aku hanya butuh kejelasan,”Apakah kalian langsung mengepel petakan shalat dari mereka yang tidak masuk di organisasi kalian?” Ah, kata-kata itu meluncur dengan lancarnya. Harusnya aku bertanya secara perlahan saja.

Lama dia dalam diamnya, mungkin memikirkan bagaimana cara menjelaskan pertanyaanku. Dan kata-kata dari mulutku meluncur lagi,”Ummm... Katanya najis.”
Aku melihat perubahan di raut wajahnya. Aku takut, mungkin dia akan marah kepadaku.

“Lalu, kalau bersentuhan dengan yang ngga sama, katanya najis juga ya?”

“Najis ya? Hahahaha...,” jawabannya aneh, kenapa tertawa, padahal ini adalah pertanyaan yang mungkin membuatnya tersinggung.

Dia menatapku, lama dalam diam.

“Ah baiklah. Aku tau kau penasaran, akan aku jawab,” aku tersenyum ke arahnya dan dia membalasnya, artinya dia tidak marah kepadaku.

“Jelaskan!?” paksaku dengan senyuman bahagia.

“Kamu sering ‘kan meminjam jaketku?” dia memberikan pertanyaan kepadaku, ini maksudnya apa? Namun aku hanya bisa mengangguk.

“Setelah kau pinjam, lalu kau mencucinya ‘kan?” dia bertanya lagi dan aku mengangguk lagi.

“Setelah dicuci, tanganmu memegangnya lagi ‘kan?” hei, ini pertanyaannya yang ketiga dan aku hanya bisa mengangguk lagi.

“Setelah itu aku menggunakannya langsung tanpa mencucinya. Hmmm. Selama tiga tahun kita dekat dan kau tak pernah tertarik dengan apa yang aku jalani. Selama tiga tahun kita bersama, apakah aku pernah menganggapmu najis? Apakah aku pernah menganggap teman-temanku najis?”

Aku tercengang mendengar pernyataannya dan dia melanjutkannya, “Jangan percaya dengan gosip tanpa kau sendiri tidak mengenalnya terlebih dahulu.”

Aku diam cukup lama, lalu tersenyum menatap wajahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar