Kamis, 07 April 2016

Semarak Pemilihan


Masih terdengar jelas suara deruan kenalpot menguasai kota budaya ini. Sepanjang perjalanan dari barat ke utara, kaos merah bertebaran di mana-mana, menguasai setiap celah jalanan. Teriknya matahari menambah jengah suasana kota budaya yang mulai ramai.

Dalam mobil Xenia putih berplat AD, aku memandang jenuh ke arah luar. Merasa muak dengan pemandangan kampanye yang menyebalkan mata. Aku selalu berpikir, apa fungsinya kampanye yang hanya membuat macet jalanan kota yang ramai ini. Apa menyenangkannya memainkan gas motor sehingga suara dari knalpot yang nyaring itu menjerit berisik.

Aku menghembuskan napas berkali-kali. Menjerit dalam hati berjuta kali. Laki-laki berkacamata yang duduk di sampingku hanya tersenyum geli melihat tingkahku. Aku rasa dia lebih menahan sabar dibandingkan aku, mungkin kaki dan tangannya sudah lelah dibalik kemudi sopir itu. Kami sudah terjebak sepuluh menit di dalam kemacetan jalanan ini. Terjebak di lalu lintas yang tak beraturan.

“Kalau kau lelah, tidur saja,” tiba-tiba dia bersuara sambil melemparkan senyumannya kepadaku.

“Aku tak lelah, hanya bosan saja,” balasku dengan nada kesal.

“Mau ku nyalakan musik?”

“Aku pusing, lebih baik tidak.”

“Baiklah.”

Tiga puluh menit berlalu, kami berhasil menembus kemacetan yang menguasai daerah ini. Dalam perjalananku menuju Kota Budaya ke Kota Pelajar, sungguh banyak sekali poster dan spanduk bertebaran di mana-mana. Pemandangan yang sempurna merusak mataku yang ingin menikmati alam.


Ah, beginilah tempatku. Semarak pemilihan wakil rakyat membuat semua penduduk atas menjadi antusias. Alam di sekitarnya pun berubah, mulai dari pemandangannya hingga keadaannya. Dan aku lelah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar