Kamis, 07 April 2016

Harapan, Luka


Aku banyak belajar darimu. Tentang arti kehilangan. Tentang arti menunggu. Tentang arti harapan. Karena tanpa semua itu, aku tak akan pernah menjadi sosok yang setegar ini.

****

Kau selalu menyuguhkan ruang di mana untukku tetap berteduh. Kau selalu menyediakan posisi untuk aku tempati. Namun, ruang itu dan posisi itu ku sadari bernama ‘sahabat’.

Terkadang aku menjadi sosok yang rapuh dan lelah ketika harus mendengar celotehmu tentang dia. Aku menyadari, untuk mengalahkan dia itu adalah hal yang mustahil. Dia telah ada mengisi harimu. Bahkan sebelum kebersamaan kita terjalin.
Aku memahaminya.
Dia, kekuatan yang bisa membuat wajah cerahmu menjadi layu. Dia, obat yang akan selalu menenangkanmu. Dia, dia, dia, dan selalu dia. Hidupmu bukan tentang kita, namun tentang dia. Bahkan hidupmu bukan tentangmu, namun tentang dia.
Aku bingung.
Jika memang selalu tentang dia. Kenapa kau tak pernah mengenalkannya kepadaku? Jika memang selalu tentang dia. Kenapa kau tak pernah menunjukkan secarik fotonya kepadaku? Kau selalu dan selalu hanya menceritakannya.

*****

Caramu berlari ke arahku saat melihat sosokku. Caramu tertawa saat leluconku terlontar. Caramu menatapku dengan dalam. Caramu mendengarkan semua celotehku tentang dia. Semua caramu adalah hal yang selalu terekam dalam otakku.
Ku sampaikan semua yang aku pikirkan tentang dia kepadamu. Tentang semuanya. Kenapa hanya kepadamu? Karena aku nyaman membicarakannya kepadamu. Aku merasa semuanya akan tersimpan rapi dan rapat. Kau mampu dipercaya.
Dan kau selalu bersedia mendengarkan semuanya. Sesibuk apapun dirimu. Sesedih atau sebahagia apapun dirimu. Kau selalu bersedia.

****

Ketika mereka bersama, kami selalu berbincang dalam celoteh mereka.
“Hai, aku merindukanmu.”
“Aku juga. Teramat sangat merindukanmu.”
“Bolehkah aku memelukmu dengan sangat erat?”
“Tentu saja, hanya kaulah pemilik pelukan ini.”
“Mereka bodoh.”
“Ya sangat bodoh.”
“Mereka benar-benar membuat kita tersiksa.”
“Sungguh, tersiksa karena setiap rasaku akhirnya tertahan di tenggorokan tanpa diungkapkan.”
“Namun, aku lebih tersiksa lagi. Karena telah menyimpan dan menahannya sejak lama. Sejak pertama kali melihat dia menyelipkan rambut hitamnya di belakang telinganya.”

****

Aku memutuskan untuk menunjukkan siapa dia kepadamu hari ini. Karena jujur saja, semakin lama menunggu, akan semakin gila karenanya. Aku juga takut, jika ternyata kau akan pergi.
“Hai Disa. Setia menungguku?”
“Maksudmu apa? Hahaha. ‘kan sudah janji bakal ketemu di taman ini.”
“Iya. Aku pengen nunjukkin dia ke kamu hari ini.”
“Iyakah? Wah, akhirnya. Sudah lama aku menunggu waktu ini tiba.”

****

Setelah sekian lama aku menunggu dan mempersiapkan diriku untuk menyerah. Akhirnya waktu ini tiba. Kau akan memperkenalkan siapa dia. Ada sesak, sungguh sesak ini cukup menyiksaku. Namun aku akan mencoba kuat.

****

“Akhirnya tiba juga waktunya. Akhirnya kita akan bahagia.”
“Iya, akhirnya pemilikmu berani mengungkapkannya.”
“Legakah?”
“Iya.”

****

Biarkan aku yang mengakhiri kisah ini. Kisah tentang mereka. Tentang perasaan yang selalu mereka pendam. Mereka yang akhirnya memiliki kekuatan untuk mengungkapkannya.
Siapa dia? Wanita yang selalu dicemburui Disa. Siapa dia sebenarnya? Mengapa Disa selalu menjadi tempat sampah laki-laki bernama Dika itu.
Oke, akan aku ceritakan tentang hari ini di mana Dika mengatakan siapa dia.
Saat itu mendung menggelayuti langit. Namun tetes hujan belum siap untuk turun. Kesempatan yang langka bagi Dika untuk mengajak Disa mencari tempat lain.
“Kita ke café kita biasanya ya. Aku akan memberitahumu siapa dia,” ajak Dika penuh keyakinan.
Raut wajah Disa sedikit berubah, dapat ku rasakan bahwa Disa menduga bahwa wanita yang selama ini disukai Dika adalah salah satu pegawai di café itu. Salah seorang wanita yang telah kami kenal dengan sangat baik.
Perjalanan dari taman menuju café hanya memakan waktu sekitar 10 menit dengan berjalan kaki. Daerah ini memang dikhususkan untuk para pejalan kaki yang senang menikmati pemandangan segar nan hijau di pelupuk mata.
10 menit menjadi perjalanan yang sangat lama karena diam menguasai atmosfir. Aku pun hanya bisa menyaksikannya. Tanpa berkata apa-apa.
“Ayo masuk, Dis. Kita berbincang sembari menikmati secangkir coklat hangat,” tawar Dika dengan lembut kepada Disa.
“Baiklah,” ragu Disa mengiyakan tawaran Dika.
Mereka mengambil posisi tempat duduk yang cukup bagus, posisi di mana tidak ada satupun yang mungkin akan mengganggu perbincangan mereka. Dan aku hanya menatap mereka dari balik kaca ini.
Aku melihat reaksi Disa, wajahnya yang muram berubah ceria saat Dika menunjukkan handphonenya. Sepertinya Dika sudah mengungkapkan identitas dia yang selalu Dika ceritakan.
“Selalu memperhatikan mereka?” tegur seorang wanita yang menggunakan seragam pegawai.
Aku menoleh ke arah wanita yang menegurku, seorang wanita yang cukup menarik dengan balutan seragam pegawainya. Aku hanya memberikan senyumanku kepadanya. Dia menarik kursi yang ada di depanku, duduk berpangku tangan menatap wajahku.
“Kenapa?” tanyaku sinis kepadanya.
“Harapan, lalu kau menunggu, dan sekarang kau kehilangan. Bukankah dari awal kita berdua mengetahui siapa gadis yang disukai Dika? Bukankah dari gerak-gerik mereka telah menunjukkannya?”
“Ya aku tahu itu.”
“Lalu, kenapa kau tidak berhenti saja? Kau merasa tersakiti karena Disa tidak melihat ke arahmu bukan?” pertanyaannya benar-benar telak menghantam dada dan pikiranku.
“Airel, bisakah kau diam?” hardikku padanya.
“Aku lelah melihat kau terluka, Ariel.”
“Kenapa kau lelah? Kau hanya saudara kembarku.”
“Karena saat kau terluka, aku juga merasakan luka itu!”

Aku menatap kosong ke arah Airel yang tersenyum sedih memandangku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar