Kamis, 07 April 2016

Menunggumu




Bersama mentari aku bentangkan sayap kerinduan yang menuai kehampaan. Seperti biasa dalam perenunganku, aku menikmati senja bersama dengan suara camar yang menyanyi riang di antara awan-awan yang berjalan. Merasakan angin yang menghempaskanku di sore yang teduh ini.
Aku percaya, jika aku tetap menunggunya kembali, maka dia pasti akan kembali. Aku sangat percaya akan keajaiban yang datang kepadaku, tanpa memikirkan bahwa di sana, mungkin dia telah bersama dengan yang lain.
Atas nama kesetiaan aku menunggunya, atas nama selamanya aku menantinya. Dengan kata-kata itu aku memperteguh perasaanku kepadanya. Aku melawan setiap tantangan dan ujian yang datang kepadaku. Hingga suatu hari aku dapat berharap bahwa perasaanku akan tersampaikan olehnya. Hingga suatu masa aku dapat tersenyum bahagia bahwa aku bisa mengatakan perasaan bodoh ini kepadanya.
Ternyata dugaanku benar, prasangka yang ku simpan selama ini akhirnya terwujud. Tepat di senja itu aku melihatnya, melihat senyuman dan kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Sesuatu yang telah lama aku nantikan akhirnya datang.

*****

Itu adalah senyuman terakhir yang aku dapatkan darinya, hari itu dia kembali ke desa kecilnya, desa yang selalu memiliki aroma khas garam. Desa yang menjadi saksi tumbuhnya perasaan yang kini menyala besar. Desa yang menjadi saksi tentang perasaan seorang wanita.
Selalu dengan gaya khasnya yang santai, dia menyapa setiap penduduk di pesisir pantai ini. Menganggap bahwa dia baru satu hari yang lalu pergi dari tempat asalnya. Aku yang sedang duduk di atas batu hanya memperhatikannya dari jauh. Aku kurang memahami apa yang ada di dalam pikirannya. Apakah dia mengingatku? Gadis kecil berkepang dua yang selalu menggenggam erat ujung bajunya. Atau remaja tanggung yang selalu membuatkan makan siang untuknya. Atau gadis tercantik di desa yang memberikan gantungan kunci berbentuk hati kepadanya. Tapi yang terpenting, selama dua puluh tiga tahun ini perasaanku tidak pernah berubah sedikitpun kepadanya. Selama dua puluh tiga tahun ini aku tidak pernah lelah untuk berharap.
Kemeja biru yang dia kenakan berkibar diantara laksamana angin yang berhembus. Wajahnya menatap luas lautan biru di manik matanya, membentangkan tangan, menyerahkan segala pengharapan yang ada di dalam benaknya. Tanpa aku sadari, aku mengikuti caramu, tidak, sebenarnya itu adalah cara kita berdua untuk melepaskan beban, cara kita untuk berbagi pikiran yang terdalam.
Aku selalu mengingat itu, setiap saat kita mendapatkan masalah, setiap saat kita merasakan beban berat, selalu saja kita berlari menuju pantai dan membentangkan kedua tangan kita, berharap bahwa angin menyampaikan setiap keluh kesah yang kita rasakan.
Masih segar dalam ingatanku, kita selalu berlari sepanjang garis pantai. Tidak. Kita tidak selalu berlari. Terkadang kita berhenti untuk menuliskan sesuatu. Atau kita berhenti untuk memperhatikan kerang-kerang yang indah.

*****

Itu adalah senyuman terakhir yang aku dapatkan darinya, hari itu dia kembali ke desa kecilnya, desa yang selalu memiliki aroma khas garam. Desa yang menjadi saksi tumbuhnya perasaan yang kini menyala besar. Desa yang menjadi saksi tentang perasaan seorang wanita.
Itu adalah senyuman terakhirnya. Itu adalah pembicaraan terakhirnya. Itu adalah perbincangan terakhirnya.
“De, kau tak pernah berubah. Selalu saja mengikutiku ke manapun aku pergi. Untung saja kau tidak mengikutiku pergi ke kota. Kehidupan di sana kurang menyenangkan De. Tak ada gadis sepertimu, tak ada suasana tenang seperti ini. Aku di sana kesepian De. Berharap kau berada di sampingku, menemaniku De.”
Aku hanya bisa tersenyum, tersenyum membalas semua katanya. Entah kenapa, bagiku kata-katanya saat itu adalah kata-kata yang menakjubkan. Kata-katanya meremukkan seluruh sistem syaraf di tubuhku. Kata yang menikam perasaanku.
“De, aku di sini hanya untuk hari ini. Besok aku akan balik ke kota. Aku ingin mempersiapkan diri untuk menikahi seorang gadis yang telah menemaniku selama ini, De. Gadis yang selalu setia menungguku, De. Aku ingin sekali menjalani kehidupan dengannya.”
Aku terhenyak mendengar kata-katanya. Aku kaget. Jiwaku runtuh. Aku berada di batas kebimbangan dan kebahagiaan. Hasilnya berbanding sama. Tapi aku tetap saja merasakan kebingungan. Apakah gadis yang dia maksud itu adalah aku? Apakah perasaan ini berbalas?

*****

Malam itu hujan deras. Lebih tepatnya, malam itu terjadi badai. Namun keesokan harinya, laut sangatlah tenang, langit cerah berawan. Anginpun berhembus dengan lembutnya. Saat itu aku tak memiliki firasat sedikitpun. Aku melepaskan kepergian laki-laki itu untuk terakhir kalinya. Aku melepaskan kepergian yang tak akan pernah kembali.
Sebelum dia pergi, dia menitipkan sebuah kotak berwarna biru kepadaku. Kotak yang selalu dia jaga dari kecil hingga sekarang. Kotak yang tak pernah disentuh oleh siapapun kecuali dirinya. Di atas kotak itu, ada kertas kecil berwarna biru yang dilipat kecil.
Setelah laki-laki itu pergi, aku membuka kertas kecil itu.
De, bukalah kotak ini. Ini adalah hadiahku untukmu.
Hanya satu kalimat itu. Dan aku membuka kotak biru itu. Ada kerang, kertas kecil berwarna hijau, buku diary, uang logam, gambar portrait dirinya, foto aku dan dia, tissue, gantungan kunci, potongan kain, kancing, dan tali sepatu. Semua itu, andai kalian tahu. Itu adalah barang pemberianku kepadanya. Hadiah ulang tahun dariku untuknya selama sebelas tahun.

*****

De, aku ingin melamarmu. Aku ingin memintamu menjadi pendamping hidupku. Bagiku, kau adalah tulang rusukku yang hilang. Bagiku kau adalah mimpi dan tujuanku. Aku ingin menjadikanmu sebagai satu-satunya cinta di dalam hidupku. Aku mempersiapkan diri untuk menjemputmu dari Paman Ram. Aku ingin memintamu dari tangan Paman Ram. Aku ingin mengambilmu secara sah dari tangan Paman Ram.
De, kau adalah bidadari dalam hidupku. Kau adalah permata berharga. Kau adalah kerang indah yang telah lama singgah di hatiku. Kau adalah hembusan angin yang menyejukkan. Kau adalah segalanya bagiku.
De, saat aku kembali nanti, persiapkan dirimu untuk menjadi pelabuhan terakhirku.

*****

Aku akan menjadi pelabuhan terakhirmu. Aku akan menjadi bidadarimu. Aku akan tetap di sini setia menunggumu. Walau kita tidak bisa bersatu di dunia ini. Aku berharap kita bisa bersatu di alam sana.

*****

Laki-laki itu telah pergi. Pergi mendahuluiku. Pergi mendahului orang-orang di pesisir pantai ini.
Laki-laki itu telah pergi. Meninggalkan berjuta kenangan. Menyisipkan banyak mimpi di dalam tidurku.
Laki-laki itu telah pergi. Pergi dan pergi.
Bersama mentari aku bentangkan sayap kerinduan yang menuai kehampaan. Seperti biasa dalam perenunganku, aku menikmati senja bersama dengan suara camar yang menyanyi riang di antara awan-awan yang berjalan. Merasakan angin yang menghempaskanku di sore yang teduh ini.
Aku tidak pernah tahu. Kesetiaanku adalah kebodohan atau kekuatan. Yang aku tahu, aku tidak bisa bersama siapapun selain laki-laki itu.  Yang aku pahami, aku tidak bisa bersama siapapun selain laki-laki itu. Yang aku mengerti, aku tidak bisa bersama siapapun selain laki-laki itu.
Sampai aku mati, aku akan menunggu di batas cakrawala impian ini. Aku akan menjaga perasaan ini. Aku akan menjadikan dia cinta pertama dan terakhirku. Aku akan menjadikan dia cinta selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar