Rabu, 10 Agustus 2016

Pembunuh Suamiku

Salahkah jika aku mencintai lelaki yang membunuh suamiku?
Suamiku mati dengan pembuluh darah brakialisnya terpotong yang menyebabkan dia kehabisan darah. Itulah yang dokter katakan kepadaku. Tak ada tangis, aku hanya menatap kosong ke arah mayat suamiku. Pihak keluarganya meminta kepada polisi untuk tidak melakukan investigasi apapun. Hal tersebut sempat menanamkan kecurigaanku kepada mereka.
Suamiku adalah anak pertama dari keluarga terhormat di kotaku. Namun dia melepaskan semuanya untuk memulai hidup mandiri dan membangun usahanya.  Usahanya berkembang sangat pesat dan berhasil membuka cabang di seluruh kota. Penghasilan yang dia dapatkan melebihi penghasilan yang dimiliki oleh perusabaan keluarganya.
Namun hingga dia mati, kami belum memiliki anak. Penyebabnya adalah dia hanya berhubungan badan denganku di saat masa tak suburku. Entah memang dia sengaja melakukannya, aku tak pernah tahu. 
Satu minggu setelah kejadian tersebut, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang menggetarkan hati dan tubuhku. Dia adalah sekretaris perusahaan suamiku yang baru bekerja dengannya selama dua minggu, namun selama itu baru pertama kali ini aku bertemu dengannya.
Dengan kacamata yang bertengger di wajahnya, membuatku terpesona. Aku selalu mudah jatuh hati kepada lelaki berkacamata. Dan dia mempermudahkanku mengambil alih perusahaan suamiku.
Jam menunjukkan ke arah angka 9. Aku dan sekretaris yang kuketahui namanya adalah Hensu adalah orang terakhir yang masih berada di perusahaan.
Tiba-tiba Hensu beranjak dari meja kerjanya, berjalan menuju ke arah ruanganku.
Tok...tok...tok...
"Ya, silakan masuk."
Hensu memasuki ruanganku dan berjalan ke arahku, tubuhku segera berdiri dan berjalan ke arahnya. Tanpa aku sadari aku memeluk tubuhnya dan tak aku sangka dia berbalik memelukku.
"Nyonya Sina, aku ingin mengatakan sesuatu," ucapnya memeluk erat tubuhku. Aku bisa merasakan kehangatan mengalir di tubuhku.
"Katakanlah, namun tetaplah seperti ini," mintaku kepadanya.
"Aku membunuh suamimu," ucapnya dengan lembut, hal gila yang membuatku semakin mempererat pelukanku.
"Terima kasih, Hensu."
Tubuh Hensu bereaksi terhadap ucapanku, dia hendak melepaskan pelukannya.
"Jangan lepaskan," aku memohon kepadanya.
"Kenapa kau berterima kasih? Aku membunuh suamimu, nyonya."
Aku melepaskan pelukanku dan dia mengikutinya.
Aku kembali ke mejaku,"Entahlah, aku merasa lega saat dia mati. Aku tak berduka. Hanya sedikit kaget. Namun aku tak bahagia, hanya lega."
"Jadi, apakah kau akan melaporkanku nyonya?" Wajahnya tetap tenang menanyakan hal seperti itu. Tak sedikitpun ada kilat ketakutan atau kekhawatiran di wajahnya.
"Tidak, untuk apa? Keluarganya saja melarang. Toh jika aku melaporkanmu, aku akan kehilangan sesuatu yang penting," balasku dengan senyuman terbaikku.
Dia diam, tidak membalas kata-kataku.
"Lalu, bisakah aku tahu apa alasannya? Mengapa kau membunuh suamiku?"
"Karena aku menginginkanmu, cinta pertamaku."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar