Kamis, 07 April 2016

Semanis Eskrim

Ini proyek cerita bersambungku, silahkan dinikmati



Manis dan menyenangkan. Aku menyukaimu layaknya es krim di tengah terik panas matahari. Aku seperti es krim yang meleleh saat mata kita saling bertatapan.

Kataku ‘cinta’ itu konyol dan sekarang aku menderita syndrome kekonyolan itu. Yah, aku jatuh cinta. Bisa aku katakan cinta itu datang saat mataku menatap wajahmu dan aku melihat senyummu.
Kau laki-laki berkaca mata yang selalu bahagia bertemu dengan kamera. Selalu membiarkan pesonamu muncul saat kamera DSLR itu menyentuh lembut kulit arimu.

Aku ingat perbincangan kita untuk pertama kalinya. Saat itu siang sedang teriknya. Aroma panas yang meruap membuatku duduk di lantai dan menikmati dinginnya keramik sembari menyesap milk shake chocolate yang aku beli di kantin. Kau dengan kamera DSLRmu memasuki ruangan kelas kita. Caramu berjalan menunujukkan bahwa kau sedang lelah dan kepanasan.

Deg...

Detak jantungku yang semula tenang dan teratur semakin menaikkan ritme permainannya ketika jarak antara kau dan aku semakin dekat. Kau rebahkan pantatmu di atas keramik dingin itu, menyenderkan punggungmu ke dinding belakang, lalu melihatku dan memberikan seulas senyuman.
Hatiku berteriak ketika senyuman itu muncul. Aku tersenyum canggung dan kau menyadarinya.

“Kita belum pernah berbicara bukan, Chisa?” pertanyaan pertamamu meluncur mengagetkanku.
“Eh? Apa?” dan kekonyolan itulah yang aku tunjukkan.
“Hahahaha. Aku bilang kalau kita belum pernah berbicara sebelumnya bukan, Chisa?” dia mengulangi pertanyaannya lagi dengan nada yang menenangkan.
“”Ah maaf. Aku sedang tidak fokus. Iya, selama ini kita belum pernah berbicara.”
“Kamu terlihat pendiam Chisa jika berhadapan dengan anak laki-laki,” dia menebak sifatku yang menurutku kurang benar.
“Apa iya? Bukannya kalian yang enggan berbicara denganku?” pertanyaan itu begitu saja meluncur dari mulutku.
“Benarkah? Atau mungkin perasaanmu saja, Chisa,” sekali lagi dia melontarkan senyumannya.
“Oh, mungkin,” dan aku akhirnya membalas dia dengan senyuman  yang menurutku sudah menunjukkan bahwa aku sudah tenang. Lalu aku melanjutkan menikmati minumanku yang sempat tertunda.

Lima menit berlalu dalam suasana sepi antara aku dan dia. Anak-anak lain sempat melirik ke arah kami, namun hanya melemparkan senyuman lalu kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing

“Kau suka cokelat bukan?” tanyanya tiba-tiba. Aku tercengang mendengar pertanyaannya, lalu menarik napas secepat yang aku bisa untuk menenangkan diriku.
“Iya, darimana kau tahu?” tanyaku balik.
“Karena setiap ada waktu istirahat, kamu akan pergi ke kantin dan membeli cokelat. Ah kesannya aku seperti memata-mataimu ya?”
“Sepertinya,” jawabku yang masih merasakan kekagetan berlimpah di otakku.
“Tidak, aku sering memperhatikanmu,” jawabnya dengan wajah yang begitu polos. Aku tercengang, hari ini jantungku benar-benar diberikan kejutan listrik yang begitu dahsyat, mungkin kejutan listriknya mencapai 1000 Ampere.
==================================================================
bersambung~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar