Jumat, 08 April 2016

Ayah



Malam akan selalu datang di setiap harinya, begitu pula rindu yang tersimpan rapat di hatiku. Kenapa malam menjadi kerinduan, ketika siang mampu menerangkan kerinduanku? Ketika malam bersama bintang, aku mampu menggambarkan sosoknya, sosok yang terlihat tak ramah untuk aku ataupun kakakku.

Kamis, 07 April 2016

Menunggumu


Sama Seperti Lalu


Ketika aku tahu bahwa langit itu berubah menjadi gelap dan tak pernah cerah lagi, maka takkan ku ambil lembaran yang telah terkoyak itu jika hanya irisan luka yang terbuka tanpa sengaja.


Oksigen murni diizinkan memasuki celah daun jendela kamarku, tatkala ayam mulai berkokok riang. Tercium olehku aroma kopi dari cangkir sapi milik ayahku juga suara dengkuran lembut di balik daun pintu kamar kakakku. Samar-samar terdengar suara cipratan minyak goreng yang mulai panas. Aku rasa mama sudah bangun dari tadi.

*****

Jalanan sepi. Angin mulai bertiup kencang. Langit mulai berubah menjadi abu-abu. Kecepatan langkah kakiku mulai meningkat seiring tetesan air yang sedikit demi sedikit turun. Aku melihat sebuah halte, akhirnya langkah kakiku memilih unuk berlari ke sana.

Basah, dingin, dan sepi. Hari yang menyebalkan untukku. Padahal suguhan manis tadi pagi cukup membuatku senang untuk melangkahkan kaki keluar rumah.

Toko buku tinggal beberapa kios lagi, tapi karena hujan deras ini, terpaksa aku harus merelakan waktuku untuk berdiam diri mematung di halte ini. Aku menunduk, memainkan kaki kananku, lalu mengangkat kepalaku ke arah kanan, aku segera menundukkan kepalaku. Dan saat itulah suasana hatiku berubah, napasku tercekat, jantungku berdetak tak karuan. Laki-laki berbaju coklat mengenakan trening itu berlari menyusulku di halte, lebih tepatnya dia bernasib sama denganku, namun dia lebih parah dariku. Dia meletakkan tasnya di sebelahku, mengibaskan rambutnya dan menghela napas panjang.

“Hujannya menyebalkan ya, mbak. Aku kira matahari hangat tadi pagi adalah pertanda baik. Ternyata hujan deras yang turun. Mbak mau ke mana?” tanyanya.
Aku diam membisu, tak mau sampai dia mendengar suaraku. Dadaku sesak, semakin sesak tatkala dia peduli terhadapku.
“Mbak, kenapa mbak?” dia bertanya lagi padaku.
Dadaku semakin sakit. Dan tiba-tiba laki-laki itu telah berdiri depanku dan mengangkat daguku.
“Keiko?” wajah santainya berubah kaget, tapi kembali tenang.
Lalu dia kembali duduk di sampingku, menghela napas dan menerawang jauh. Aku masih saja terdiam, rasa sakit di hatiku semakin melebar. Tak kusangka jika rasa itu masih, kukira tiga tahun berlalu akan membuatku santai jika bertemu dengannya.
“Aku kaget, Kei. Ternyata kamu yang berdiri di sini, menikmati hujan yang turun. Apa kabar, Kei?”
Aku belum mampu menjawab, masih terdiam dan tercekat. Lalu darah di otakku mulai mendidih dan tak tertahan lagi.
“Mengapa kau menghilang, Kei? Apa salahku?” tanyanya kepadaku.
“Kau ti…tidak menyadari a…apa yang te…telah kau perbuat?” bentakku.
“Maksudmu, Kei?” dia berdiri menatapku, memegang erat bahuku, membuat aku berdiri tepat di hadapannya.
“Tatsuke, a..apakah kau t..tak pernah sadar sakitnya hatiku ini?” tanyaku balik dengan wajah memerah.
“Aku lebih terluka, Kei. Tiba-tiba kau menghilang. Menjauhi diriku.”
“Kau mencintai wanita lain, Tatsu. Dan aku tak sanggup, apalagi Reisa menemuiku dan memintaku untuk menjauhimu. Kau tahu betapa sakitnya aku? Kau sahabat terbaikku, kau yang menemaniku selalu, tapi saat kau sibuk dengan Reisa, kau lupakan segalanya tentang aku.”
“Kei, aku mencarimu.” Suara Tatsu mulai melemah. “Reisa bukan pacarku. Dia anak dari teman ayahku, Pak Kanto. Pak Kanto enyuruhku untuk menjaganya. Aku ingin menjelaskan semuanya padamu, tapi tiba-tiba kau perlahan-lahan mulai menjauhkan dir. Kau sibuk dengan urusan-urusanmu, selalu saja ada alas an darimu saatku mengajakmu jalan.”
Air mataku mulai turun lagi, semakin deras dan tak terhentikan. Dia menarikku mendekatinya. “Menangislah, Kei.”

*****

Sejak hari itu, aku dan Tatsu selalu pergi bersama. Hingga waktu itu tiba menghadang hariku. Ketika dingin yang menusuk mulai menggeserkan rasa hangat yang ku rasakan. Di saat itulah aku menyadari jika koyakan luka lama itu telah kembali hadir, tanpa ku pinta dia menelusup melalui pori-pori dan seketika menghentakkan gelombang nadi yang tadinya tertata apik.

Hari itu aku hendak pergi ke toko buku, saat aku sedang mengobrak-abrik lemari buku di sana, tiba-tiba aku bertabrakan dengan seorang wanita.
“Kalau jalan, lihat-lihat dong, mbak. Jangan asal tabrak aja.” Wanita itu memarahiku.
Aku tak perduli, lebih baik aku segera meminta maaf dan berlalu darinya.
“Hei, mbak. Bukumu tertinggal.” Panggilnya kepadaku.
Aku berbalik dan dengan wajah terperangah dia melihatku. Wajahnya berubah menjadi geram dan kesal.
“Keiko?” wanita itu tersenyum ke arahku.
“Iya, nama saya memang Keiko. Mbak kenal saya?”
“Saya Reisa, Kei. Kamu lupa?” Aku terkejut melihat wanita itu.
“Oh ya, Kei. Mumpung sedang bertemu denganmu, aku Cuma amu bilang. Malam ini ada acra pertunanganku dengan Tatsu. Dia sudah lama ngga bertemu kamu, jadi mumpung aku ketemu kamu, aku mau bilang. Dating aja jam 7 ke Hotel Sedusia.” Tanpa sadar aku segera membalikkan badan dan berlari. Aku tak perduli saat Reisa memanggilku dan seluruh pengunjung toko memperhatikanku.

*****

Ku perhatikan meja tulisku. Mengapa lembaran terkoyak itu tiba-tiba “nongol” di atas mejaku, menyibak semua luka lama yang tersimpan? Mengapa harus sekarang? Lukanya luar biasa menyesakkan jiwa. Air mataku mulai mengalir, semakin deras dan tak bisa dihentikkan, sesak, sakit di dadaku.

Dion



Namanya Dion. Orangnya sama sekali enggak ganteng, manis juga enggak, tapi ada sesuatu dari dia yang bikin gue penasaran banget. Gue kenal dia sejak gue duduk di bangku SMA kelas satu. Kita satu kelas, kita satu meja walaupun beda bangku, kita sering satu kelompok, tapi selama satu tahun gue deket sama dia, gue belum pernah ngobrol sama dia. Alasannya apa? Karena gue pendiam dan dia cuek. Gue bisa dengar suaranya kalau kita lagi berdiskusi, jadi itu ngga masuk dikata yang namanya obrolan. Terkadang gue merasa dia mau mulai percakapan dengan gue, tapi guenya ngga nunjukin tanda-tanda mau ngobrol sama dia. Kalau di jam pelajaran, gue sibuk nulis sambil coret buku gue di sana sini, kalau lagi jam kosong, gue pakai headset atau earphone di kuping gue sambil muterin musik yang volumenya sampai di kelas sebelah aja kedengeran dan itu ketahuan banget bohongnya, kalau jam istirahat, gue selalu keluar kelas duluan dan nangkring teramat manis di masjid, kalau jam olahraga, gue sama sekali menjauhi makhluk yang namanya cowo.

Dan sekarang gue baru sadar setelah satu tahun duduk bersebelahan sama dia, bukan Cuma gue yang penasaran, tapi dia lebih penasaran lagi sama gue. Oh iya, gue belum memperkenalkan diri gue. Nama gue Anita Aprilia, dari nama gue, jelas banget kalau gue lahir di bulan April. April di tingkat pertama gue, dan gue mau ceritain ke kalian. Entah siapa yang ngeletakin bunga mawae, sekotak coklat, dan bros cantik di laci meja gue. Gue dengan polosnya Tanya sama anak-anak, “Ini punya siapa woy? Kok ada di laci gue.” Dan cewe bernama Nindi langsung ngetawain gue, dengan wajah polos gue Tanya kenapa, dan gue baru sadar setelah gue Tanya kenapa, ternyata di bingkisan itu tertulis UNTUK ANITA APRILIA. Dan gue langsung diam terduduk di kursi gue. Gue jadi males bahas masalah bingkisan itu, walau sebenernya sampai tahun kedua gue penasaran siapa yang kasih bingkisan itu ke gue. Di kelas kagak ada yang ngaku. Tanya sama anak kelas lain mana mungkin.

Setahun berlalu, gue ambil jurusan bahasa, dan lagi-lagi gue sekelas dan satu meja tapi enggak sebangku sama Dion. Kembali lagi di bulan April tingkat dua, gue nggak dapet bingkisan kado di laci meja gue. Tapi waktu di jalan gue pulang ke rumah, untuk pertama kalinya gue ngobrol sama Dion. Di situ Dion kasih bingkisan yang sama dan enggak ada kata ‘Untuk April’ lagi. Dan kalau kalian mau tahu, disitu gue akhirnya jadian sama Dion. Dan yang lebih konyol lagi, ternyata rumah Dion tepat di belakang rumah gue. Sumpah, gue ngenes banget sama diri gue. Kenapa gue bias ngga tahu tentang hal itu.

Lanjut ke hubungan gue sama Dion, kadang-kadang gue suka berselisih pendapat sama dia, tapi karena kita berdua itu sama-sama cuek, semuanya berlalu begitu saja. Dan beruntungnya gue, nggak ada yang tahu antara hubungan gue sama Dion karena kita semeja dan bertetanggaan, jadi mereka menganggapnya bisaa saja. Dan gue bersyukur banget, tapi gue sempet cemburu begitupun sebaliknya Dion. Karena apa, tepat di hari yang sama dan di waktu yang sama, ada orang yang mengaku suka ke kita, tapi secara halus gue nolak itu kakak, dan dengan gaya cueknya, si Dion bilang, “Maaf, gue ngga suka sama lo.” Ya ampun, sebegitunya dingin si Dion sama itu cewe.

Dan ini adalah tahun ke tiga gue mengenal Dion, sangat disayangkan, Dion harus pindah ke Singapura dengan alasan orang tua yang pindah kerja. Satu dua bulan, gue masih komunikasi sama dia. Bulan ke tiga, gue udah mulai jarang, gue cuma berpikir positif aja. Bulan ke lima, tiba-tiba dia kirim e-mail menyatakan bahwa dia mutusin gue. Jujur, gue cuma bisa diam membeku ngebaca itu e-mail dan akhirnya gue bales e-mail dia :

To : diondion@damail.com 
From : aprilapril@damail.com 
Subject:___________ 
Dion, lu cuma bercanda kan?

From : diondion@damail.com 
To : aprilapril@damail.com 
Subject:___________ 
Enggak.

Dan setelah itu gue enggak pernah lagi dapet kabar dari Dion.
Di bulan April kelulusan SMA gue. Gue udah melupakan kejadian putusnya gue sama Dion yang ngga tahu kenapa. Gue menikmati musim semi di kota gue sambil ngobrol sama Geni, temen semeja gue di tahun ke tiga, bukan Dion lagi. Geni secara enggak sengaja ngomong masalah Dion ke gue.

“Gue kangen, Dion. Dia udah sembuh atau belum ya.”

“Apa? Lu ngomong apaan gen? Dion? Sembuh? Maksudnya.”

“Dion sepupu gue, Pril. Bukan Dion elu.”

Tapi di saat itu gue menangkap sebuah kebohongan dari mata dan nada suara Geni. Entah emang gue yang peka atau gue yang sensitive sama namanya Dion. Tapi Geni itu murid baru di tingkat tiga dan langsung akrab sama gue.

Satu tahun berlalu sejak bulan april di tahun ketiga. Gue sekarang berada di sebuah kota atau lebih tepatnya Negara kecil berbentuk pulau bernama Singapura. Sekarang gue kuliah jurusan kedokteran di sana. Andai kalian masih mengikuti kisah gue. Kalian pasti mengenal Dion. Sekarang gue balikan lagi sama Dion. Mungkin bagi yang patah hati karena cinta, ngatain gue bodoh karena mau balikan sama Dion.

Andai kalian tahu, Dion yang gue kenal bukan lagi Dion yang dulu. Dion di depan gue berubah 180 derajat. Dion yang gue kenal sekarang udah ngga bisa gue sentuh lagi, Dion yang sekarang udah ngga bisa gue lihat lagi. Satu bulan yang lalu, Dion udah ninggalin gue untuk selamanya. Dion mengidap leukemia stadium 4. Dia mutudin gue dulu karena ngga mau gue tersakiti. Dia nggak mau lihat wajah gue yang sedih. Di hari terakhir Dion, gue harus pura-pura tetap tersenyum sampai dia menutupkan matanya untuk selamanya. Di hari terkahir Dion, dia masih sempet bilang ke gue, “April adalah bulan terindah yang pernah gue rasain seumur hidup gue. Dan April adalah cahaya terindah dalam hidup gue. Tapi gue enggak mau meninggal di bulan April, karena gue enggak mau merusak moment April.” Sakit banget nahan tangis dan harus tetap tersenyum di depan Dion. Gue enggak sanggup, gue enggak tahan lagi. Tapi demi Dion, gue tetep berdiri di samping dia.

Dan di bulan April, setiap bulan April, gue selalu dapat bingkisan hadiah dari Dion. Andai kalian tahu seberapa besarnya cinta Dion ke gue.

April di tahun ke lima, gue dapat hadiah diary milik Dion.

April di tahun ke enam, gue dapat gitar kesayangan Dion.

April di tahun ke tujuh, gue dapat satu kotak novel kesukaan Dion.

April di tahun ke delapan, gue enggak tahu apa yang bakaln gue dapetin, karena ini masih bulan Maret, dan gue sekarang terbaring lemas di atas tempat tidur rumah sakit yang dulu Dion tempati, sekarang gue mengidap kanker otak stadium 4. Kalau gue masih sempet nulis kisah gue, gue bakalan ceritain apa hadiah dari Dion di tahun ke delapan dari April milik kita.

Benang Waktu


Laki-laki Tiga Detik


Aku Hanya Penasaran


Harapan dalam Tahun


Hujan Tek Pernah Segan


Pernikahan


Secangkir Cokelat Hangat


Teman


Semarak Pemilihan


Keputusan Akhir

Setelah oke sekian lama ga nulis, nih coba iseng nulis sejauh yang ada dalm pikiran. Cukup neggantung. Banyak kesalahan di sana-sini, yakin dah.

****

Kenapa


Lelehan Eskrim

Sambungan dari : Semanis Eskrim
======================================================


Milk shake cokelat adalah peneman setiamu di waktu istirahat. Rambut sebahu. Mata sipit. Wanita unik yang selalu menikmati waktu sendirinya. Aku hendak menyapamu, tetapi ragu selalu menyelip. Takut terabaikan. Takut dianggap aneh.
Oke. Aku hanya takut jika momen yang ingin aku ciptakan menjadi hancur karena diriku sendiri. Aku hanya takut. Itu saja.

******

1 Oktober 2014.
Aku berjalan memasuki ruangan kelas. Memilih duduk menyender pada dinding. Mencari posisi strategis agar aku bisa melihatmu lebih jelas.
Dan yang terjadi adalah mata kita saling bertumbukan. Spontan mulutku membentuk senyuman. Senyuman yang aku tujukan padamu. Dan kau membalasnya.
Ragu yang sempat menyelip dengan sangat angkuh itu menghilang. Kalimat pertamaku untukmu meluncur begitu saja. Begitu angkuh.
“Kita belum pernah berbicara kan, Chisa?”
Oh oke. Pertanyaan pertama yang konyol. Kamu cukup kaget dan linglung. Aku melihat betapa kamu berusaha mengontrolnya. Kamu berusaha. Aku menyukai hal itu.
Kau bertanya balik kepadaku,“Heh, apa?”
Aku meresponmu dengan tawa,“Hahahaha.”
Dan aku mengulang kalimatku kepadamu,”Aku bilang kalau kita belum pernah berbicara sebelumnya bukan, Chisa?”
“Ah maaf, aku sedang tidak fokus. Iya, selama ini kita belum pernah berbicara.”
Kalimatmu benar-benar mematikan percakapan. Namun aku tak mau percakapan kita yang sudah terjadi ini terhenti. Jika kau mematikan percakapan kita, aku akan membuat percakapan ini hidup.
“Kamu terlihat pendiam Chisa jika berhadapan dengan anak laki-laki.”
Ah bodoh sekali. Pernyataan yang men-judge­ seharusnya tak masuk ke dalam area percapakan ini.
”Apa iya? Bukannya kalian yang enggan berbicara denganku?”
Aku cukup kaget dengan jawabannya. Kaget ini cukup membingungkan.
Dan kali ini aku yang harus berusaha. Aku berusaha tersenyum kepadamu. Cara terbaik menghilangkan kebingungan yang bisa kamu ciptakan.
Aku berpikir sejenak, lalu pertanyaan baru terlontar,”Benarkah? Atau mungkin perasaanmu saja Chisa?”
“Oh, mungkin.”
Respon ‘mungkin’ dari dirimu membuat percakapan ini kembali mati. Mulutku berhenti bekerja, tetapi tidak perasaan dan otakku. Perasaanku merespon mataku untuk memperhatikan setiap gerikmu. Caramu menyesap minuman, membersihkan bibir mungilmu dengan tisu, dan meletakkan cangkir minuman. Begitu menyenangkan.
Lima menit berlalu, aku tak sanggup menahan suaraku untuk keluar,”Kau suka cokelat bukan?”
Ekspresi kagetmu selalu bisa membuatku ingin tertawa, namun aku menahannya. Kamu terlihat gugup dan panik, namun sebisa mungkin kamu terus berusaha untuk mengontrolnya. Ingin sekali tangan ini memberikan cubitan kecil di pipimu yang menggemaskan, namun aku harus menahannya. Sekali lagi, aku harus menahannya.
“Iya. Darimana kau tahu?” kamu membalas pertanyaanku dengan pertanyaan balik.
Aku harus menjawab jujur dan ku harap kamu bisa mengerti maksudku,”Karena setiap ada waktu istirahat, kamu akan pergi ke kantin dan membeli cokelat. Ah kesannya aku seperti memata-mataimu ya?”
“Sepertinya,” jawaban yang menunjukkan bahwa kamu terkejut.
“Tidak, aku sering memperhatikanmu,” jawabku apa adanya tanpa karangan. Aku hanya ingin kamu tahu, sesegera mungkin dan secepat mungkin.

*****

Semanis Eskrim

Ini proyek cerita bersambungku, silahkan dinikmati



Manis dan menyenangkan. Aku menyukaimu layaknya es krim di tengah terik panas matahari. Aku seperti es krim yang meleleh saat mata kita saling bertatapan.

Kataku ‘cinta’ itu konyol dan sekarang aku menderita syndrome kekonyolan itu. Yah, aku jatuh cinta. Bisa aku katakan cinta itu datang saat mataku menatap wajahmu dan aku melihat senyummu.
Kau laki-laki berkaca mata yang selalu bahagia bertemu dengan kamera. Selalu membiarkan pesonamu muncul saat kamera DSLR itu menyentuh lembut kulit arimu.

Aku ingat perbincangan kita untuk pertama kalinya. Saat itu siang sedang teriknya. Aroma panas yang meruap membuatku duduk di lantai dan menikmati dinginnya keramik sembari menyesap milk shake chocolate yang aku beli di kantin. Kau dengan kamera DSLRmu memasuki ruangan kelas kita. Caramu berjalan menunujukkan bahwa kau sedang lelah dan kepanasan.

Deg...

Detak jantungku yang semula tenang dan teratur semakin menaikkan ritme permainannya ketika jarak antara kau dan aku semakin dekat. Kau rebahkan pantatmu di atas keramik dingin itu, menyenderkan punggungmu ke dinding belakang, lalu melihatku dan memberikan seulas senyuman.
Hatiku berteriak ketika senyuman itu muncul. Aku tersenyum canggung dan kau menyadarinya.

“Kita belum pernah berbicara bukan, Chisa?” pertanyaan pertamamu meluncur mengagetkanku.
“Eh? Apa?” dan kekonyolan itulah yang aku tunjukkan.
“Hahahaha. Aku bilang kalau kita belum pernah berbicara sebelumnya bukan, Chisa?” dia mengulangi pertanyaannya lagi dengan nada yang menenangkan.
“”Ah maaf. Aku sedang tidak fokus. Iya, selama ini kita belum pernah berbicara.”
“Kamu terlihat pendiam Chisa jika berhadapan dengan anak laki-laki,” dia menebak sifatku yang menurutku kurang benar.
“Apa iya? Bukannya kalian yang enggan berbicara denganku?” pertanyaan itu begitu saja meluncur dari mulutku.
“Benarkah? Atau mungkin perasaanmu saja, Chisa,” sekali lagi dia melontarkan senyumannya.
“Oh, mungkin,” dan aku akhirnya membalas dia dengan senyuman  yang menurutku sudah menunjukkan bahwa aku sudah tenang. Lalu aku melanjutkan menikmati minumanku yang sempat tertunda.

Lima menit berlalu dalam suasana sepi antara aku dan dia. Anak-anak lain sempat melirik ke arah kami, namun hanya melemparkan senyuman lalu kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing

“Kau suka cokelat bukan?” tanyanya tiba-tiba. Aku tercengang mendengar pertanyaannya, lalu menarik napas secepat yang aku bisa untuk menenangkan diriku.
“Iya, darimana kau tahu?” tanyaku balik.
“Karena setiap ada waktu istirahat, kamu akan pergi ke kantin dan membeli cokelat. Ah kesannya aku seperti memata-mataimu ya?”
“Sepertinya,” jawabku yang masih merasakan kekagetan berlimpah di otakku.
“Tidak, aku sering memperhatikanmu,” jawabnya dengan wajah yang begitu polos. Aku tercengang, hari ini jantungku benar-benar diberikan kejutan listrik yang begitu dahsyat, mungkin kejutan listriknya mencapai 1000 Ampere.
==================================================================
bersambung~

Harapan, Luka


Malam Keseribu


Kenangan yang Bermain



Alam Bawah Sadar



Menunggumu adalah Pekerjaanku

Aku akan membuat tulisan ini untuk yah entahlah. Semoga kau membacanya tanpa harus aku yang mengatakannya.

Nikar dan Kila

"Karena melupakan seseorang yang berarti dalam hidup kita,
bisa berarti pertarungan seumur hidup."

Awan mendung perlahan-lahan memulai aktifitasnya di atas langit. Menghantui setiap makhluk yang menginjak tanah di bawahnya. Ada yang berharap sang awan menurunkan hujan. Ada wajah-wajah kesal yang tak ingin hujan turun. Ada yang tak peduli jika sang awan ingin menurunkan hujan.
Coba kau tengok di sudut ruangan gelap itu, seseorang benar-benar tak peduli dengan apa yang terjadi di luar sana. Dia hanya sibuk dengan rutinitasnya yang sudah bertahun-tahun dia jalani.

******

Nikar duduk di trotoar perempatan, memperhatikan setiap orang yang berlalu lalang, dengan tatapannya yang bersemangat. Namun setiap orang yang lewat berusaha menjauh dari dirinya. Merasa jijik atas penampilannya. Merasa takut dengan tatapannya.
Dari arah depan, seorang anak perempuan yang cantik berlari-lari menuju ke arahnya dengan membawa boneka beruang berwarna cokelat.
TIIIIN. TIIIIINN.
"Kilaaaaaaaaaa," teriakan kencang berasal dari wanita cantik yang sedang berada di depan rumah makan Nasi Padang.
Dengan sangat cepat Nikar menyadari bahaya itu dan segera berlari, menyelamatkan anak kecil yang bernama Kila.
Semua orang memperhatikan sikap heroik Nikar. Lalu berlari menuju Nikar dan menghajar habis-habisan Nikar, yang menyadari sikap heroik itu hanya satu orang, Kila. Tangis Kila pecah melihat Nikar dihajar.
"Kila tidak apa-apakan? Orang gila itu tidak menyakiti Kila 'kan?" Sang Ibu menggendong Kila.

******

Seorang laki-laki separuh baya berjalan dengan santai menuju ruangan paling sudut di bangunan tua itu. Dengan membawa sebuah buku berwarna biru yang terlihat usang di tangannya.
Krek.
Seseorang di sudut ruangan yang gelap itu menoleh. Mengenal siapa yang memasuki ruangannya, dia mengubah posisi duduknya berhadapan dengan laki-laki itu.
"Dokter, kenapa datang lagi ke sini?"
"Aku sudah berjanji akan membawakan sesuatu yang akan menginspirasi kamu. Dan sekarang aku membawakannya khusus untukmu," laki-laki yang dipanggil dokter itu menyerahkan buku usang yang dia bawa kepada perempuan dihadapannya.
"Terima kasih dok, karena selalu membantuku," senyum manis mengembang dari wajah perempuan itu.
"Tidak masalah Kila, kau adalah malaikatku."
*bersambung*