Kamis, 07 April 2016

Hujan Tek Pernah Segan


Aku selalu menikmati hujan yang turun di bulan November ini. Saat kakiku masih mungil, aku senang berlari, berputar, menari, bahkan bermain di bawah derasnya hujan bulan November. Namun sekarang aku menikmatinya dengan cara berbeda. Menengadahkan tangan, merasakan dinginnya air menyentuh pori-pori kulit tanganku. Seperti itulah caraku menikmati hujan yang selalu menggodaku untuk tertawa di atas kebahagiaan atau tangisan ini.

*****

Usiaku sudah menginjak angka delapan belas tahun ketika aku tidak bisa menikmati derasnya hujan bulan November di kampung halamanku. Aku rindu sekali, rindu mencium aroma-aroma ruapan hujan di teras rumahku sembari berbincang dengan Ibu yang wajahnya mulai berubah termakan usia senja. Rindu menikmati canda tawa bersama sahabat-sahabatku.

Di Solo, tempatku berada sekarang, hujan pun turun di bulan November ini. Kebiasaanku di sini saat hujan adalah menghadap laptop, melihat hasil jepretan-jepretan teman semasa putih abu-abu dulu atau menatap awan kelabu yang bernaung di atas sana. 

Saat ini hujan di bulan November melanda semua wilayah di daerah Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Curah hujan yang turunpun benar-benar tak memberikan belas kasihan. Ah, rinduku semakin menjadi.

Jadwal kuliahku hari ini padat hingga pukul empat sore, di luarpun hujan masih turun dengan derasnya. Aku terpaksa menetap di laboratorium komputer di kampusku. Menikmati wifi gratis sembari mendengarkan musik. Ada beberapa teman-teman yang masih menetap, ada yang telah pulang karena membawa mantol atau payung, dan ada yang nekat menerobos hujan. Setiap orang mempunyai pilihannya masing-masing.

"Ini tanggal berapa ya?" tanyaku tiba-tiba kepada seseorang yang berada di sampingku.
Tak ada jawaban. Suasana hening. Saat aku menoleh ke sampingku, ternyata temanku sedang asyik streaming youtube menggunakan headset. Tapi yang bodoh itu adalah aku. Sudah jelas sekali kalau laptopku memiliki aplikasi kalender. Aku yang baru ingat segera mengarahkan kursor laptopku.
Setelah itu aku mengklik mouse bagian kiriku ke arah lambang Google Chrome aplikasi web browser, aku berniat untuk online. Aku mengetik http://twitter.com, saat tampilan twitter keluar, sebuah kabar mengejutkanku. Kampung halamanku terkena musibah banjir.

Drrrt. Drrrt.

Aku kaget karena getaran handphoneku yang begitu tiba-tiba. Ternyata telepon dari ibu. Aku mengangkat telepon itu.
"Halo, bu. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, Dek."
"Kenapa bu? Oh ya, di sana hujan deras ya?"
"Iya, Dek. Liburan ini pulang?"
"Mungkin pulang, bu. Kenapa? Kangen ya?"
"Iya dong. Kangen sama anak ibu yang cerewet."
"Yah dikatain cerewet lagi."
"Dek, udah dulu ya. Ibu mau pergi dulu."
"Oke, bu."

Ah, aku lupa bertanya kepada Ibu tentang kondisi di sana. Aku mencoba menelepon Ibu, tak ada jawaban. Mungkin Ibu sedang di jalan. Aku menunda untuk menelepon ibu.
****
Terkadang manusia sering melewatkan tanda kecil yang diberikan oleh Tuhan.
Hatiku berdegup kencang tak karuan, aku gelisah. Sudah seharian ini aku mencoba menghubungi ibu, tetapi tak ada jawaban. Aku ketakutan. Aku baru saja membaca berita bahwa banjir menyebabkan beberapa warga terbawa arus deras. Jembatan penghubung perkampungan banyak yang ambruk. Aku ketakutan, tubuhku gemetar.
Drrrt. Drrrt.
Handphoneku bergetar, sebuah nomer tak dikenal muncul. Aku ragu untuk mengangkatnya. Aku takut jika itu orang iseng. Namun nomer itu menghubungiku lagi. Dan aku mengangkatnya.
"Halo. Ini siapa?"
"Assalamualaikum, dek."
Aku kaget, tubuhku lemas untuk beberapa saat. Lalu debar jantungku berangsur normal. Aku tersenyum tenang, bersyukur mendengar suara yang muncul dari balik telepon ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar