Kamis, 07 April 2016

Secangkir Cokelat Hangat


“Jika rindu ini memang tak bisa ku hantarkan padamu,
biarkan dia terbawa bayu yang berhembus kencang,
agar aku tak berusahai memaknai rindu ini lagi.”

Ku katakan aku rindu, hingga sesaknya pun terasa indah di hatiku. Mengenang wajahmu yang rupawan bak pangeran berkuda putihku. Membuat jantungku berdetak lebih cepat dari yang aku duga.

Aku mengambil kesimpulan secepat kedipan mataku. Ku katakan dengan lantang di dalam hati,”Aku mencintaimu Egra.”

Hanya secangkir cokelat hangat yang pahit yang memulai pertemuan kita. Namun pertemuan itu tak sepahit cokelat itu, sungguh pertemuan itu manis semanis-manisnya gula.

Mungkin kau terlalu penasaran denganku. Karena kita kerap bertemu di tempat dan waktu yang sama, sembari menikmati pesanan kita masing-masing. Kau duduk dekat dengan jendela dan aku duduk dekat dengan pintu. Saat kau menatap keluar melalui jendela, aku menatap keluar melalui pintu. Bukankah kita memiliki beberapa kesamaan walau dengan cara yang berbeda?

Aku menyesap minuman yang hangat itu dengan senyuman, namun kau selalu menyesap minuman itu dengan datar. Mata kita kerap saling bertumbukan, entah itu tumbukan sempurna atau tidak, namun aku merasakan hatiku bergetar, dia bernada ‘do’ awalnya.

Akhirnya aku mulai terbiasa menikmati pemandangan itu, yaitu kamu. Hingga di hari kaca berembun dan aroma rerumputan meruap ke udara, serta bunyi lonceng angin berdentang. Kau mendatangi mejaku. Kau suguhkan secangkir cokelat hangat yang aromanya menggoda lidah dan tenggorokanku untuk menyesapnya. Dan sejak itu, aku mulai merasakan kehangatan dari wajah datarmu hingga sekarang.

Ah sungguh, aku ingin merasakan kebersamaan itu lagi, Egra. Aku ingin duduk dekat dengan pintu, menikmati angin yang berhembus ringan memasuki cafe itu, dan melihatmu. Namun aku tak bisa lagi, Egra. Aku tak sanggup menyesap secangkir cokelat hangat itu. Aku bahkan tak sanggup memasuki cafe itu, Egra.

Aku rindu, sungguh rinduku benar-benar memuncak tatkala aku melewati cafe itu. Namun aku tak bisa, Egra. Aku hanya akan menangis, menangisi semuanya. Aku akan merutuki diriku sendiri.

Egra, maafkan aku yang hingga saat ini tak bisa memaafkan diriku sendiri. Kau tau itu sulit bukan? Jika saja, jika saja dompetku tidak jatuh di jalanan yang padat itu, jika saja aku tidak lalai meletakkan barang-barangku, mungkin saat ini kau telah berdiri di sampingku, menatapku teduh seperti biasanya, dan memberikan secangkir cokelat hangat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar